Perkembangan Komunikasi Massa di Indonesia
Istilah
komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara estimologis
bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna
(Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157). Bentuk dan cara
komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang
zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara. Ilmu komunikasi
merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu
komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu
yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena
dipakai untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan
kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial.
Ilmu
Komunikasi di Indonesia
Di
Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil
dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia
diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres
itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di
Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.
Sebelumnya
dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di
Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang
menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama
mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian
terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan
dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan
Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu
Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu
Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi
dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa
tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian
mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro,
Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an,
deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua pakar dalam bidang kajian
ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan
Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967).
Dalam
perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai
paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan
oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan
pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada
paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis.
Hampir
semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada
perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau
fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh,
bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi.
Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori
baru telah tumbuh dan berkembang.
Komunikasi
Massa
Komunikasi
massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa
dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai
institusi penting dalam masyarakat kian meningkat. Komunikasi massa adalah komunikasi
melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa
(mass media communication). Media massa yang menjadi cakupan pengertian
komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film.
Pengertian komunikasi massa,
merujuk kepada pendapat Tan dan Wright, dalam Lilweri. 1991, merupakan bentuk
komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan
komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh
(terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Sedangkan Joseph
A. Devito dalam bukunya Communicology an Introduction to The Study of
Communications menampilkan definisinya tentang komunikasi massa sebagai berikut
:
“Pertama, komunikasi massa
adalah komunikasi yang ditunjukkan kepada massa, kepada khalayak yang luar
biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk
atau semua orang yang mendengarkan radio, agaknya ini berarti bahwa khalayak
itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan.
Kedua, komunikasi massa
adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar yang audio dan atau visual.
Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan
menurut bentuknya seperti radio, surat kabar, majalah, buku, televisi, film,
dan pita).”
Komunikasi
massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
-
Serempak
-
Meluas
-
Segera
-
Anonim (tidak saling kenal)
-
Melembaga
-
Komunikasi searah
-
Influence (mempengaruhi)
-
Menginformasikan
Adapun
unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut :
-
Sumber/komunikator
-
Pesan/informasi
-
Saluran/media
-
Penerima pesan/komunikan
-
Efek
Perkembangan Komunikasi Massa di Indonesia
Komunikasi
massa dikenal di Indonesia sejak abad ke-18, tahun 1744 ketika sebuah surat
kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh pengusahaan Belanda. Kemudian
terbit Vendu Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.
Ketika memasuki abad ke-19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang semuanya
diusahakan oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir
kaum pribumi yang mengerti bahasa Belanda. Kemudian media massa yang dikelola
oleh pribumi mulai dengan terbitnya majalah Bianglala tahun 1854 dan Bomartani
1885, keduanya di Weltevreden. Selain
itu pada tahun 1856 terbit Soerat kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Umumnya
media itu terbit di Jawa. Ini dikarenakan percetakan sebagai sarana yang sangat
vital untuk menerbitkan media hanya ada di Jawa.
Tahun
1920-1945
Di
masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak
diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi,
dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan,
sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah.
Di
sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi
keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan,
bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan
adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana
tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media
tidak dapat bergerak dengan bebas.
Tahun
1945-1965
Berbeda
dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan
secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan
khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan
pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan
sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau
tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno.
Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominan.
Hal
ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana
Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1
Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan
juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan
majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963.
Tahun
1965- 1998
Di
masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan.
Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang
rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang
mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi,
dan pikirannya melalui media.
Peran
media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa
Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan
Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru,
orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain
majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang
dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut,
pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar
Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara
akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada
1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel,
melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke
arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah,
pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan
nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan
negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada
perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.
Pemberangusan
terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi
mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat
kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times,
Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya
melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik
Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Proses
komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya
golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni
pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil
merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu
labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam
kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social
responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering
didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi
dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada
pertengahan 1980-an. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers
Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar
nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam
arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu
sendiri. Hakikat
Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan
suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan
bertanggungjawab.
Istilah
Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi
korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya
fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur
aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan
dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an
hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan
independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai
pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada
era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”.
Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan
aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak
disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim
kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media
cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang
boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong
pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran
dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan
swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu
bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi
pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh
pers.
Tahun
1998- sekarang
Pasca
1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif.
Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya
melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari
pemerintah.
Begitu
juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai
penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan
pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di
kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang,
misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun
melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Pada
era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti
Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu
diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi,
meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai
Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam
diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia
untuk siaran nasional tinggal satu.
Di
era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya.
Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Referensi:
Budiharsono
S, Suyuti.
(2003). Politik Komunikasi.
Jakarta: PT Grasindo.
Arifin,
Anwar.
(1988). Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta: Rajawali Press.
Effendy,
Onong Uchjana.
(2004). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kurnia, Fauzan Dwi. “Pengertian Komunikasi Massa”. Diakses 15 Desember 2013. http://fauzan3486.wordpress.com/tag/komunikasi-massa/
Nugraha, Rahmat. “Perkembangan
Ilmu Komunikasi Di Indonesia“. Diakses 15 Desember 2013. http://lelakitulen.blogspot.com/2007/08/perkembangan-ilmu-komunikasi-di.html
Rizha, Fachrur. “Perkembangan Komunikasi Massa Di Indonesia”.
Diakses 15 Desember 2013.
http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/02/perkembangan-komunikasi-massa-di.html
Topan. D.S, Ali. “Sejarah dan Perkembangan Ilmu Komunikasi di
Indonesia: Peran Ilmu Komunikasi dalam Membangun Demokrasi Indonesia”.
Diakses 15 Desember 2013. http://alitopands.blogspot.com/2012/01/sejarah-dan-perkembangan-ilmu.html